Minggu, 22 April 2012
20.42 |
Diposting oleh
Kintanyulanda |
Edit Entri
Kejamnya Keadilan "Sandal Jepit"....
rakyat
kecil seperti jendal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu
kalah. Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus
berurusan dengan hukum.
Tidak
perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri
ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena
ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat
dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.
Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang
divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang harganya
tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek
yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya
transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang
menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di
hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi
Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL
terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun,
bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak
ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang
diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai
barang bukti itu adalah miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin
dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu
kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan
kepada orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri
barang milik orang lain.
Mati
Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Kamis (5/1/2012)
di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL itu
menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri.
Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi
dan hati nurani.
"Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan
masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan
kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga
memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan
evaluasi," kata Imam.
Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal
serupa. Hakim kini dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah
rakyat kecil. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang
terkandung dalam aturan hukum.
"Undang-undang itu dead
letter law (hukum
yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim.
Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang, melainkan hakim.
Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa diterima," kata Soetandyo.
Meskipun, seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang
lain sekecil apa pun tanpa izin adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum
harus ditegakkan. Namun, apakah hal itu sudah sesuai rasa keadilan di
masyarakat?
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi
putih mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit
dan kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat
melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat
mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan
koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua
tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus
atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87
kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun
yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas
pada pertengahan November tahun lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor
memang rendah. Pengadilan, kata Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi
hukum yang baik. "Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada
kepentingan rakyat," kata Busyro.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana
mengatakan kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan
dengan kalangan atas. Pemerintah, menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap
rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
"Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak
yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan
kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan
melihat konteks," kata Himkmahanto di Jakarta, Kamis.
Keadilan Restoratif
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist
Merdeka Sirait menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice (keadilan restoratif) sebagai
penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa AAL
maupun Nenek Minah.
Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan yang
mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding
menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian
kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup
dengan mediasi. Peradilan anak telah digagas pemerintah belandaskan azas ini.
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis
Akbar yang turut memperjuangkan penerapan keadilan restoratif mengaku kecewa
dengan para penegak hukum yang tidak menggunakan konsep tersebut. Ia menilai,
Kementerian Hukum dan HAM pun bertanggunjawab, karena sekarang lebih peduli pada
pencitraan, sehingga subtansi rasa keadilan masyarakat tidak tersentuh lagi.
"Sungguh disesalkan, sekarang ini semua penegak
hukum mulai lagi kembali ke ego sektoral masing-masing," kata Patrialis.
Sejumlah pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan
hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit
rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya
disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini,
rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum
di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil,
tapi loyo dan bagai agar-agar bagi kalangan atas.
A. .
PENDAPAT
Saya pernah membaca sebuah wacana
yang menyatakan bahwa media asing seperti singapura dan Washington Post dari
Amerika Serikat menyoroti sandal jepit sebagai symbol baru ketidakadilan di
Indonesia dengan berbagai judul berita seperti ‘’Indonesians Protest With
Flip-Flops’’,’’Indonesians have new symbol for injustice: sandals’’,
‘’Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over
uneven justice’’,serta ‘’ Indonesia fight injustice with sandals’’.
Pada
kasus Sandal jepit ini, di satu sisi dua orang aparat yang sebenarnya mampu
membeli lagi sandal jepit baru merasa pantas untuk menegakkan keadilan dengan
mengintrogasi anak pencuri sandal jepit bahkan menempuh jalur hukum. Menurut
saya kasus ini seharusnya diselesaikan melalui proses pembinaan bukan jalur
hukum. Sehingga pihak kepolisian memanggil orang tua sang pelaku pencuri sandal
jepit tersebut dengan tujuan agar anak itu tidak mengulangi lagi perbuatannya dan
Peristiwa ini dianggap selesai dengan aksi orangtua menegur anaknya untuk tidak
mengulangi perbuatannya di depan sang pemilik sandal jepit.
Lalu
kasus yang menimpa nenek minah berusia 55 tahun, dengan tuduhan mencuri buah
kakao (coklat) milik perkebunan PT Rumpun Sari Antan 4. Nenek minah memetik
tiga buah kakao untuk bibit di kebunnya yang kecil dan memang ditanami kakao. Nenek
Minah dijatuhi hukuman percobaan 1 bulan 15 hari. Dia memang tidak perlu
dipenjara, tapi mengapa sampai melakukan tindak pidana???
hukuman
yang adil bukan sekedar berdasarkan pasal sekian pasal sekian,tapi ada
pertimbangan lain,ada hati nurani dan peri kemanusiaan.
apakah
itu dapat disebut hukum berkeadilan? Hanya mencuri tiga buah kakao yang
dilakukan seorang anak dibawah umur dan perempuan tua,harus dihukum,sedangkan
para koruptor yang melahap uang Negara Negara/rakyat sampai milyaran rupiah
bebas karena katanya ‘’tidak ada bukti’’?
Di negara ini jika orang besar dituduh berbuat
kesalahan apalagi yang dituduh mempunyai kekuasaan meskipun jelas ada bukti
bersalah, tetapi tidak langsung menerima hukuman. Proses pengadilannya bisa
diulur-ulur atau ditunda-tunda, bahkan bisa sampai ‘’hilang’’ di tengah jalan.
Berbeda dengan orang kecil yang dituduh berbuat kesalahan,’’cepat’’ dijatuhi
hukuman, padahal banyak kejadian kemudian terbukti dia tidak bersalah. Tapi dia
sempat menjalani hukuman sampai bertahun-tahun. banyak pasal-pasal dibuat tapi hanya
sebatas ditulis dan tidak dilaksanakan sesuai dengan yg telah dibuat.
Menurut saya hukum di negara indonesia sudah amat adil, namun para aparat
penegak hukum yang saya rasa tidak adil.
Label:
Tugas Kampus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kintan Yulanda
| Jakarta 27 Juli 1993 |Informatics Engineering UG'11 | http://www.facebook.com/kintan.yulanda | http://twitter.com/#!/strawbery_kecil
About Me
- Kintanyulanda
- kintan yulanda, jakarta 27 juli 1993, | Informatics Engineering UG '11
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar